UU MD3 Bukti Hancurnya Demokrasi Indonesia?

21.44


“Draft UU MD3 sudah ada di meja saya, tapi belum saya tandatangani. Saya memahami keresahan yang ada di masyarakat mengenai hal ini. Kita semua ingin kualitas demokrasi kita terus meningkat, jangan sampai menurun -Jkw.” Tiga kalimat tersebut merupakan pernyataan Presiden Joko Widodo melalui akun twitternya @jokowi dalam menanggapi Undang-Undang MPR, DPR, DPRD dan DPD (UU MD3) pada hari Rabu (21/02). Sebagai kepala negara dan pemerintahan, sikap penundaan tersebut menunjukkan adanya kekeliruan yang begitu besar dalam RUU tersebut, yang akan menimbulkan gejolak-gejolak baru bagi bangsa Indonesia. Lantas mengapa? Bahkan, seorang presiden-pun berada pada masa kegalauan atas RUU yang tercipta melalui badan perantara suara masyarakat ini.
Sebelum kita membahas seluk-beluk kekeliruan UU MD3 bagi bangsa Indonesia, mari kita bahas terlebih dahulu sejarah terciptanya UU tersebut. UU MD3 adalah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun  2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Pada awalnya, UU ini didesain untuk memposisikan parlemen (MPR, DPR, DPD dan DPRD) sebagai lembaga legislatif yang kokoh dan berwibawa. Secara keseluruhan, UU MD3 mengatur perihal fungsi, tujuan, hingga mekanisme-mekanisme teknis atas institusi-institusi legislatif di Indonesia. UU MD3 terdiri atas 179 halaman dan 408 pasal. UU MD3 disahkan oleh delapan fraksi DPR (kecuali Fraksi Partai Nasdem dan PPP). Permasalahan UU MD3 bermula pada saat sehari sebelum Pemilihan Umum Presiden (Pilpres) dilaksanakan pada 9 Juli 2014 yang lalu. Enam fraksi di DPR RI mendeklarasikan “Koalisi Permanen” untuk masa kerja 2014-2019. Fraksi-fraksi yang mendeklarasikan koalisi permanen itu berasal dari partai pengusung Prabowo Subianto-Hatta Rajasa di pemilu presiden, yaitu Fraksi Partai Golkar, Partai Gerindra, Partai Demokrat, Partai Amanat Nasional, Partai Keadilan Sejahtera dan Partai Persatuan Pembangunan. Deklarasi itu dihadiri oleh para pimpinan fraksi, antara lain : Setya Novanto (Golkar), Ahmad Muzani (Gerindra), Nurhayati Assegaf (Partai Demokrat), Tjatur Sapto Edi (PAN), Hidayat Nurwahid (PKS) dan Hasrul Azwar (PPP). Tjatur Sapto Edi mengatakan bahwa pembentukan Koalisi Permanen tersebut bertujuan untuk membangun kehidupan politik nasional yang lebih baik ke depan. Selanjutnya, Koalisi Permanen mendukung lembaga perwakilan yang kuat, yang dimanifestasikan ke dalam sebuah undang-undang yang akan mereformasi parlemen dan membuat wajah MPR, DPR, DPD dan DPRD kelak menjadi lebih profesional, bertanggung jawab, dan bebas korupsi. Namun dengan banyaknya kasus pengungkapan korupsi beberapa waktu belakangan ini yang ikut menyeret ketua DPR, Setya Novanto, lalu kinerjanya yang dianggap tidak efektif membuat banyak komentar pedas berdatangan kepada lembaga ini di media, sehingga sebagai pembuat Undang-Undang, UU MD3 lalu dimanfaatkan sebagai pondasi dalam melindungi harga diri, citra, maupun lembaga legislatif di Indonesia.
           Sebagai badan representatif kehidupan demokrasi di Indonesia, DPR dalam pembahasan RUU MD3 ini justru mengabaikan kaidah demokrasi dalam setiap langkah yang diambil. Pertama, DPR tidak pernah terbuka dalam menyampaikan naskah UU MD3 yang sedang dibahas saat masih menjadi RUU. Kedua, tidak adanya penarikan aspirasi dari masyarakat, seperti saat pembahasan RUU lain. Baik dari konten, maupun proses pembentukan aturan banyak menyimpang dari kaidah-kaidah demokrasi. Dari pembahasan mengenai berbagai macam isu dalam UU MD3 ini sebagai warisan sang wakil rakyat periode 2009-2014, maka kita sebagai mahasiswa, calon pendorong perbaikan bangsa dapat dilakukan dengan berbagai macam cara, tanpa kemudian harus terjebak dalam blok-blok partai politik yang terpolisasi. Sehingga, peran mahasiswa sebagi agent of change, dan agent of control social dapat dilakukan dengan baik.


Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.