UU MD3 Bukti Hancurnya Demokrasi Indonesia?
“Draft UU MD3 sudah ada
di meja saya, tapi belum saya tandatangani. Saya memahami keresahan yang ada di
masyarakat mengenai hal ini. Kita semua ingin kualitas demokrasi kita terus meningkat,
jangan sampai menurun -Jkw.” Tiga kalimat tersebut
merupakan pernyataan Presiden Joko Widodo melalui akun twitternya @jokowi dalam menanggapi Undang-Undang MPR,
DPR, DPRD dan DPD (UU MD3) pada hari Rabu (21/02). Sebagai kepala negara dan
pemerintahan, sikap penundaan tersebut menunjukkan adanya kekeliruan yang
begitu besar dalam RUU tersebut, yang akan menimbulkan gejolak-gejolak baru
bagi bangsa Indonesia. Lantas mengapa? Bahkan, seorang presiden-pun berada pada
masa kegalauan atas RUU yang tercipta melalui badan perantara suara masyarakat
ini.
Sebelum
kita membahas seluk-beluk kekeliruan UU MD3 bagi bangsa Indonesia, mari kita
bahas terlebih dahulu sejarah terciptanya UU tersebut. UU MD3 adalah
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun
2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Pada awalnya, UU
ini didesain untuk memposisikan parlemen (MPR, DPR, DPD dan DPRD) sebagai
lembaga legislatif yang kokoh dan berwibawa. Secara keseluruhan, UU MD3
mengatur perihal fungsi, tujuan, hingga mekanisme-mekanisme teknis atas
institusi-institusi legislatif di Indonesia. UU MD3 terdiri atas 179 halaman
dan 408 pasal. UU MD3 disahkan oleh delapan fraksi DPR (kecuali Fraksi Partai Nasdem
dan PPP). Permasalahan
UU MD3 bermula pada saat sehari
sebelum Pemilihan Umum Presiden (Pilpres) dilaksanakan pada 9 Juli 2014 yang
lalu. Enam fraksi di DPR RI mendeklarasikan “Koalisi Permanen” untuk masa kerja
2014-2019. Fraksi-fraksi yang mendeklarasikan koalisi permanen itu berasal dari
partai pengusung Prabowo Subianto-Hatta Rajasa di pemilu presiden, yaitu Fraksi
Partai Golkar, Partai Gerindra, Partai Demokrat, Partai Amanat Nasional, Partai Keadilan
Sejahtera dan Partai Persatuan Pembangunan. Deklarasi itu dihadiri oleh para
pimpinan fraksi, antara lain : Setya Novanto (Golkar), Ahmad Muzani (Gerindra), Nurhayati Assegaf (Partai
Demokrat), Tjatur Sapto Edi (PAN), Hidayat Nurwahid (PKS) dan Hasrul Azwar
(PPP). Tjatur Sapto Edi mengatakan bahwa pembentukan Koalisi Permanen tersebut
bertujuan untuk membangun kehidupan politik nasional yang lebih baik ke depan. Selanjutnya, Koalisi Permanen mendukung lembaga perwakilan yang kuat, yang
dimanifestasikan ke dalam sebuah undang-undang yang akan mereformasi parlemen
dan membuat wajah MPR, DPR, DPD dan DPRD kelak menjadi lebih profesional,
bertanggung jawab, dan bebas korupsi. Namun dengan banyaknya kasus
pengungkapan korupsi beberapa waktu belakangan ini yang ikut menyeret ketua
DPR, Setya Novanto, lalu kinerjanya yang dianggap tidak efektif membuat banyak
komentar pedas berdatangan kepada lembaga ini di media, sehingga sebagai
pembuat Undang-Undang, UU MD3 lalu dimanfaatkan sebagai pondasi dalam
melindungi harga diri, citra, maupun lembaga legislatif di Indonesia.
Sebagai badan representatif kehidupan
demokrasi di Indonesia, DPR dalam pembahasan RUU MD3 ini justru mengabaikan
kaidah demokrasi dalam setiap langkah yang diambil. Pertama, DPR tidak pernah
terbuka dalam menyampaikan naskah UU MD3 yang sedang dibahas saat masih menjadi
RUU. Kedua, tidak adanya penarikan aspirasi dari masyarakat, seperti saat
pembahasan RUU lain. Baik dari konten, maupun proses pembentukan aturan banyak
menyimpang dari kaidah-kaidah demokrasi. Dari pembahasan mengenai berbagai
macam isu dalam UU MD3 ini sebagai warisan sang wakil rakyat periode 2009-2014,
maka kita sebagai mahasiswa, calon pendorong perbaikan bangsa dapat dilakukan
dengan berbagai macam cara, tanpa kemudian harus terjebak dalam blok-blok
partai politik yang terpolisasi. Sehingga, peran mahasiswa sebagi agent of
change, dan agent of control social dapat dilakukan dengan baik.
Tidak ada komentar: